Aku, Ketua Kelas Tanpa Sepatu

Praaang!
Piring di depanku pecah. Begitu juga tangisku. Matahari sudah tinggi, aku bisa melihat cahayanya menerobos dinding bambu di dapurku yang berlubang di sana-sini termakan rayap.
Seharusnya aku sudah di sekolah, bercanda dengan Tati dan Ani, teman sebangkuku, sambil menunggu lonceng berbunyi. Ah, atau malah Pak Dar sudah masuk kelas, dan memulai pelajaran favoritku, Bahasa Indonesia.
Tapi apa? Aku masih berkutat dengan piring-piring kotor ini. Berulang kali aku merutuk dalam hati, kenapa bisa bangun kesiangan? Padahal aku tau kalau Bapak tak pernah memberikan toleransi. Sedikitpun.
Aku harus purna mengerjakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabku saat pagi, menyapu rumah dan mencuci piring. Protes? Jangan harap akan berhasil, karena gelegar suara Bapak yang akan menjawab protesku. “Salahe sopo krainan, heh?” (Salah siapa bangun kesiangan, heh?).
Jika sudah begini, rutukan demi rutukan akan berkejaran di pikiranku. Kenapa harus aku yang cuci piring? Kenapa banyak sekali yang harus aku kerjakan? Dan kenapa, Simbok yang seharusnya di sini mengurus suami dan anak-anaknya malah pergi jauh-jauh ke Arab? Kenapa??
Maka aku melampiaskan kekesalan pada piring di depanku. Ya, piring itu pecah karena memang kubanting. Meski setelahnya aku kaget dan buru-buru membereskannya. Jangan sampai Bapak tahu.
Maka aku memungutinya, membungkusnya dengan kresek dan membuangnya ke pekarangan belakang. Untunglah Bapak sudah pergi ke sawah, jika tidak, bisa habis aku dimarahi perkara piring pecah.
Aku tak sempat mandi, segera aku pakai baju seragam lusuh yang nampak begitu serasi dengan tubuh kurusku. Kusisir dengan cepat rambut ikalku, dan melesat sembari mencomot tempe goreng yang sedikit gosong.
Ah, ya. Aku lupa kapan terakhir aku memakai sepatu ke sekolah. Tapi siapa peduli? Toh banyak juga temanku yang bertelanjang kaki. Itu bukan perkara besar bagi kami.
Aku duduk di kelas 3 SD Negeri Arjowinangun. Sebuah desa kecil di kecamatan Puring, Kebumen. Saking kecilnya di sana hanya ada satu sekolah. Desaku dikelilingi oleh hamparan sawah dengan batas pandangan berupa gunung yang menjulang. Tapi udara di sana tidak terlalu dingin, karena desaku juga berdekatan dengan laut selatan.
Jika di rumah aku sering marah dan frustasi, tidak demikian jika aku sudah keluar rumah, terutama ke sekolah. Aku dikenal sebagai anak yang pintar, periang, dan pandai berteman. Aku menjadi ketua kelas, yang setiap kali memimpin barisan selalu menyembunyikan kaki di belakang keranjang sampah.
Aku, ketua kelas tanpa sepatu.
Bersambung …
*Baca rangkuman kisahnya di: Rotun si Anak Dusun