Baik ke Anak Lain Tapi Galak ke Anak Sendiri. Kok Bisa?

Entah ya, tapi mau curhat aja ternyata ibu yang baik banget ke anak lain sementara galak banget ke anak sendiri itu nyata adanya.
Suatu hari, tetangga saya mau pindah rumah. Tetangga yang lain, termasuk saya ikut membantu mengemasi barang-barang di rumahnya. Di depan rumah sudah terparkir mobil pickup yang akan mengangkut perabot dan barang lainnya.
Anak tetangga saya, dua orang dan semuanya perempuan, bermain di atas mobil itu dan melompat-lompat. Yang satu kelas 4 SD, yang satu kelas 2 SD. Berkali-kali ibunya mengingatkan, “Jangan lompat-lompat, jatuh kau nanti”.
Nah, singkat cerita setelah berulang kali si Ibu berteriak melarang anaknya main lompat-lompat di atas mobil, anak perempuan kelas 4 SD itupun jatuh, dengan posisi satu kaki ke tanah tapi satu kakinya masih nyangkut di sisi mobil.
Saya yang melihat aja ikut ngilu. Pasti sakit banget, karena kaki yang nyangkut di mobil posisinya nekuk dengan tulang kering membentur sisi mobil. Nangis? Iya, kenceng banget. Namun yang membuat saya lebih syok adalah reaksi ibunya.
“ALHAMDULILLAAAH…jatuh juga akhirnya kau ya, syukuuuur. Itu akibatnya kalau ndak mau denger omongan Ibu. Berapa kali ibumu bilang dari tadi, heh? Jangan lompat-lompat. Sudah, rasakan kau!”
Nampaknya si Ibu benar-benar marah, karena setelahnya sama sekali tidak peduli meski anaknya menangis meraung-raung sambil terpincang-pincang. Akhirnya para tetangga yang menolong dan mengobati kakinya.
Tapi entah mengapa saya yakin, luka di hatinya lebih sakit daripada luka di kakinya. Lalu siapa yang akan menolong dan mengobati hatinya yang luka? Huhu…saya sedih dan syok banget. Terlebih karena semua yang terjadi terekam oleh kedua balita saya.
Detik berikutnya Wafa memberondong dengan pertanyaan: Kenapa Kakak nangis, Bun? Sakit ya itu Bun, kasihan Kakak. Ibunya kenapa marah-marah Bun? Sayapun bingung menjawabnya. Akhirnya saya melipir pulang sambil menenangkan hati yang ngilu tiba-tiba.
Saya percaya banget kalau kata-kata Ibu adalah doa, that’s why sebagai ibu, kita harus sangat hati-hati dalam berkata ataupun memperingatkan anak. Alih-alih berkata, “Jangan lompat-lompat, nanti kamu jatuh”, misalnya, maka jauh lebih baik diganti dengan “Kalau lompat-lompat gitu bisa jatuh lho Nak, kamu mau jatuh?”.
Beda sekali kan? Kalimat pertama mengandung ancaman, dan semacam doa. Nanti kamu jatuh adalah doa yang sangat spesifik. Ya kan? Sedangkan kalimat kedua, kita memberi peringatan, dan kemudian memberi pilihan kepada anak, mau mengindahkan atau tidak peringatan yang kita berikan.
Namun bukan hal itu yang ingin saya bahas. Sikap si ibu tetangga saya ini sebenarnya sering mengundang rasa heran. Kenapa? Karena kalau sama anak saya atau anak tetangga yang lain manisnya minta ampun. Halus dan lembut. Berbanding terbalik dengan sikapnya ke anak sendiri. Beliau nggak segan melontarkan bully verbal semacam ngatain anaknya hitam kayak mo**et, bo**h, dan umpatan lain yang bikin merinding.
Ah, pernahkan kalian melihat ada seorang Ibu yang bersikap seperti itu?
Begitu baik pada anak lain, namun berubah galak dan kasar pada anak sendiri.
Entahlah apa yang ada di pikiran Ibu tersebut. Saya teringat pada cerita teman yang mengajar privat di sebuah rumah. Sudah lama Ia memperhatikan bahwa anak lesnya tersebut mempunyai sifat pendiam, murung dan tertutup.
Hingga suatu hari, terungkaplah apa yang menjadi sebab perilakunya itu. Suatu hari teman saya melihatnya mengambil susu dari kulkas, berniat meminumnya. Tapi kemudian datanglah anak tetangga yang lebih kecil dari dia, meminta susu itu. Dia menolak berbagi, kemudian Ibunya berkata,
“Kasih Adek susunya dong. Ayo, harus berbagi sama teman”
“Tapi aku mau minum”, jawabnya lirih.
“Ya kan kamu bisa ambil lagi”, sahut Ibunya.
“Habis Bu, ini tinggal satu”
“Yaudah sih kasih ke adek aja. Kamu kan gampang nanti ibu beliin lagi”.
Akhirnya, dengan berat hati dan mata gerimis dia kasih susu itu ke anak kecil tadi.
Menurut kalian, apa yang anak rekam dari hal tersebut? Apa yang dia pelajari tentang berbagi jika sang Ibu mengajarkan dengan cara di atas?
Saya juga ingat bertahun yang lalu saat belum menikah. Guru tahsin di sekolah tempat saya mengajar, memiliki anak kecil yang belum genap setahun. Lagi lucu-lucunya deh. Saya sering menggendongnya dan bilang, “Duh, Mi..jadi pengen punya anak nih. Seneng banget pasti deh”. *Padahal nikah aja belom*
Ummi Halimah menyahut, “Beneran udah siap punya anak? Ini kan Rotun cuma liat enaknya. Pas dia wangi, pas anteng, pas nggak rewel, pas sehat. Coba liat kalo dia lagi rewel minta ampun, atau pas sakit. Masih kepengin banget nggak punya anak?”
Atau saat berulang kali saya dibilang sabar menghadapi anak murid, “Miss, sabar banget ya ngadepin anak-anak. Saya ngadepin satu aja kepalanya berasep mulu. Ini Miss ngadepin 13 anak”. Lalu apakah saat saya memiliki anak, saya sesabar itu?
Nggak juga. Karena emang anak sendiri sama anak orang beda banget. Anak orang kan jarang-jarang ketemu, yamasa ketemu-ketemu digalakin. Bisa bonyok dikeplakin emaknya lah. Ngajar cuma dua jam, se berulah-berulahnya mereka, masih bisa mikir, sabaaaar.. bentar lagi bel pulang. Nah kalau anak sendiri, mau dipulangin kemana? -__-
Kenapa Bisa Begitu?
Saat menghadapi anak orang, kita nggak pakai emosi, karena memang tidak ada ikatan di dalamnya. Jadi lebih netral aja gitu. Ngeliat anak orang tantrum pasti beda banget kan rasanya sama ngeliat anak sendiri yang tantrum?
Kita bisa dengan kepala dingin memberi nasehat “cara menghadapi anak tantrum” ke mereka. Kalau anak sendiri yang tantrum? Perlu latihan panjaaang agar kita bisa berpikir jernih dan nggak ikutan tantrum :D.
Begitulah.
Namun bukan berarti hal tersebut menjadi pembenaran untuk bersikap kasar pada anak sendiri. Kan bagus kalau bisa bersikap manis pada siapapun. Anak orang lain, apatah lagi anak sendiri.
Semoga kita diberi kemudahan untuk mendidik anak-anak dengan cara yang baik dan dihindarkan dari berkata kasar ke anak-anak ya. Kalau bukan kita yang bersikap manis pada mereka, lalu siapa? Bukankah masing-masing kita ingin di kenang sebagai orangtua yang baik, dengan ajaran baik yang kelak akan mereka teruskan ke anak-anak mereka?
Yuk, bismillah.
Jadi, sudahkan hari ini bersikap manis pada anak-anak?
Salam,
-Rotun DF-