Dear, Mba. Selamat Menikmati #UsiaCantik mu…

Dear, Mba Dini.
Apa kabar? Semoga saat ini Mba dalam kondisi sehat dan bahagia ya. Bersama Abang dan anak-anakmu, tentu saja. Aku kangen banget Mba, udah dua tahun ya kita nggak pernah ketemu. Sejak aku pindah Palopo lebih tepatnya.
Malam ini ingatanku melayang, Mba. Mengeja segala kenangan tentangmu. Apalagi setelah chat kita di bbm, saat aku minta ijin untuk menuliskan kisahmu di blog ini.
“Jangan lah, nanti aku terkenal :D”, jawabmu.
Tapi toh aku bersikeras. Aku janji akan menyamarkan namamu, entah jadi Bunga, atau malah Mawar. Dan akhirnya menjadi Dini. Nama yang cantik, bukan?
Aku ingin tulisan ini, paling tidak bisa mewakili rasa terimakasihku padamu. Atas kebaikan-kebaikanmu selama ini. Atas banyaknya teladan yang Mba ajarkan. Atas banyaknya nilai hidup yang diam-diam kupetik darimu.
Aku ingin tulisan ini bisa menginspirasi orang lain. Bahwa berbuat baik tidak selalu harus dengan hal-hal besar. Bahwa menginspirasi tidak selalu harus berbuah piagam penghargaan. Tapi dari hal-hal kecil yang selalu menyentuh hati.
Karena sesuatu yang dilakukan dari hati, akan selalu sampai ke hati. Dan akan membekas di sana, selamanya.
Setidaknya aku melihatnya di sosokmu, Mba.
Ringan Tangan dan Murah Hati
Tiap kita selesai taklim, kamu selalu menjadi orang yang paling cekatan, Mba. Membereskan piring-piring bekas konsumsi, membawanya ke belakang untuk kemudian mencucinya.
Maklumlah, kita semua hobi makan ya, terutama gorengan yang nggak pernah ketinggalan, hahaha.
Mba Asih, guru ngaji kita sering berkelakar saat kamu bersikukuh mencuci piring meski sudah dilarangnya, “Diiin, sekalian deh, itu di belakang banyak cucian. Di lantai atas juga setrikaan ada sekeranjang”.
Aku dan teman-teman lain kontan tertawa dan kamu hanya tersenyum simpul, “Yah, kalau itu sih dirumahku juga banyak Mba”.
Ah, bahkan kami jarang bisa mengalahkanmu, Mba. Meski sudah dibuat jadwal piket. Dan itu nggak hanya di rumah Mba Asih, tapi di manapun.
Saat kita taklim di rumah teman-teman yang lain, di rumahku, apatah lagi di rumahmu sendiri. Kamu juaranya Mba. Tercepat dalam berbuat kebaikan.
Untuk aku pribadi, aku malu mengingatnya Mba. Malu karena sampai detik ini aku belum bisa membalas kebaikanmu yang begitu banyak dan bertubi-tubi.
Mba Dini ingat nggak, saat di taklim aku bercerita ingin membuat meja untuk anak-anak TPA karena jumlah mereka semakin banyak agar lebih rapi saat mengaji, tiba-tiba sorenya kamu langsung bbm, “Tun, mejanya harga berapa? Terus kamu mau bikin berapa? Aku mau nyumbang uangnya ya”.
Saat jahitan cesarku bocor dan harus bolak-balik rumah sakit, teman-teman taklim memberikan perhatian yang luar biasa. Masih ingat kan Mba, kalian sepakat untuk bergiliran masak buatku, mengantarkan tiap pagi biar aku nggak usah beli.
Dan kamu Mba, yang bersikeras aku harus pindah rumah sakit karena tak kunjung ada perubahan. Bekas jahitanku masih saja basah dan berdarah, padahal sudah jahit ulang.
Kamu memaksaku pindah ke dokter langgananmu di sebuah rumah sakit di kawasan Buncit. Kamu yang menjemputku pakai mobil tiap kali jadwal kontrol, karena suamiku sudah terlalu banyak ijin di kantornya. Kita pergi berlima, bersama dua anakmu dan Wafa yang masih bayi.
Kamu yang menggendong Wafa tiap kali aku masuk ruang dokter. Kamu yang aktif bertanya ke dokter kenapa lukaku tak kunjung kering. Dan kamu Mba, yang tiba-tiba menyerahkan amplop tebal kepadaku.
“Apa ini Mba?”
“Buat bantu biaya berobat, maaf ya nggak bisa bantu banyak”.
Mataku nanar waktu itu. Nggak bisa bantu banyak, katamu Mba? Selama ini apa?
Dan uang ini, jumlahnya 7 digit!
Aku menolaknya, tapi seperti biasa kamu bersikeras. Tangisku pecah di pelukanmu, bahkan untuk sekedar berterimakasih lidahku serasa kelu.
“Doain aja ya, semoga berkah”, katamu.
Ah, terbuat dari apakah hatimu, Mba? Semoga Allah membalasmu dengan sebaik-baik balasan.
Belajar Sepanjang Hayat
Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim dan muslimah. Itu yang kamu pegang dengan erat. Membuatmu rajin datang taklim seminggu sekali, melingkar bersama Mba Asih dan teman-teman lain mengkaji Alquran, sunnah, fiqih dan ilmu lainnya.
Kamu juga semangat untuk terus memperbaiki bacaan qur’an, hingga memutuskan untuk ikut kelas tahsin di Rumah Tahfidz. Ah, sudah tingkat berapa sekarang Mba? Atau jangan-jangan sudah masuk kelas Tahfidz? Huhu, aku malu, karena aku masih gini-gini aja.
Sebagai orangtua, kamu juga selalu semangat mengikuti seminar dan kelas-kelas parenting. Masih ingat kan, Mba? Suatu kali kita ikut seminar di UNJ Rawamangun. Saking semangatnya, ternyata kita datang terlalu pagi, sementara seminarnya ternyata bakda Dhuhur.
Oalaaah, maafkan aku yang tak teliti membaca brosur. Akhirnya kita balik lagi. Dan pas berangkat lagi, ternyata macet parah dan akhirnya kita malah telat, hahaha. Tak apalah, semangat kita tercatat sebagai pahala ya Mba, begitu kita menghibur diri.
Taat Pada Suami
Kamu istri yang sangat taat pada suami, Mba. Tak akan pernah keluar rumah tanpa ijin suami, ridho atas segala keputusan suami dan selalu siap mendukung dalam setiap situasi.
Abang yang bekerja di sebuah instansi keuangan, ‘lahan basah’, kata orang-orang, menjadikan keluargamu nyaman secara finansial. Makanya aku kaget banget pas Mba cerita Abang memutuskan resign.
Abang takut akan godaan yang begitu banyak. Takut menerima sesuatu yang bukan haknya. Takut apa-apa yang tidak jelas masuk ke dalam perut istri dan anaknya.
Meski keputusan itu ditentang keluarga, toh kamu mendukung Abang sepenuhnya. Lillahi ta’ala, katamu. Jika Abang meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Masya Allah Mba, betapa aku iri akan kebersihan hati kalian :’).
Alhamdulillah sekarang usaha Abang sudah sukses ya Mba, kalian membuka kantor sendiri, bahu membahu dari Abang menjadi bos dan kamu menjadi sekretarisnya, bahu-membahu mencari klien hingga mencari OB.
Semoga berkah tercurah untuk keluargamu ya Mba. Selalu.
Selalu Merawat Diri
Kamu cantik Mba, kulitmu putih bersih. Jauh banget lah sama aku yang eksotis++ alias eksotisnya kelewat item. Tapi meski sudah cantik begitu, kamu rajin banget merawat diri.
Suka janjian sama teman-teman pergi ke dokter Inong, dokter kulit yang aku tau hanya dari majalah Ummi. Saat aku terheran-heran, kalian mengatakan bahwa wanita di #UsiaCantik sangat perlu merawat diri.
Bukan karena merasa tidak nyaman dengan kondisi, tapi lebih kepada perwujudan rasa syukur. Bukankah aplikasi syukur itu dengan merawat baik-baik pemberian dari Allah? Begitu katamu.
Baca: Cantik di Mata Suami
Ah, aku tercerahkan Mba.
Bahwa menjadi cantik bukan sedangkal hanya perawatan sana-sini, poles make up sana-sini, tapi bisa menjadi sebuah perwujudan rasa syukur dengan merawat pemberiannya baik-baik. Bukan hanya jasadiyah (raga), tapi juga ruhiyah (jiwa) dan fikriyah (akal pikiran).
1. Jasadiyah.
Dengan memberikan hak-hak tubuh sesuai dengan porsinya. Makan makanan yang bergizi, istirahat cukup dan olahraga secara teratur. Kita nggak boleh abai dan dzolim terhadap tubuh, karena itu sama saja dengan kita mengabaikan penciptanya.
Kamu masih rajin aerobik seperti dulu kan, Mba? Aku udah mulai nih, tapi masih angot-angotan *nyengir*. Coba aku masih di Jakarta ya, kita bisa aerobik bareng dan nyalon bareng. Nebeng ikutan konsul ke dokter Inong, hehehe.
Oiyaa, selamat sekali lagi atas pembukaan salon muslimahnya ya, Mba. Semoga niatmu untuk mempermudah para muslimah mendapatkan perawatan yang nyaman dan syar’i dimudahkan dan dilancarkan oleh Allah. Amin.
*Coba kalau boleh, aku promosiin sekalian salonmu, Mba.
2. Ruhiyah.
Dengan selalu mendekatkan diri padaNya. Menjalankan ibadah wajib dan sunnah. Ah, nikmatnya bergabung di lingkaran taklim, ya Mba. Di mana kita selalu mengingatkan dan nasehat-menasehati dalam kebaikan.
Berapa juz tilawah kita, berapa rakaat sholat malam kita, pun agenda buka puasa bersama yang ‘memaksa’ kita untuk berpuasa sunnah setidaknya sekali dalam sebulan.
Aku jadi kangen sayur asemnya Mba Uli deh Mba, dia kalau ifthar selalu kita todong bawa sayur asem betawi ya, hahaha.
3. Fikriyah
Dengan memberikan asupan gizi untuk akal pikiran kita. Dengan belajar berbagai ilmu dan informasi yang berguna. Lewat seminar, lewat kajian, dan tentu saja lewat buku-buku yang kita baca.
Hei, aku kangen banget nongkrong di perpustakaanmu, Mba. Masih di lantai atas kah? Sayang ih aku nggak punya fotonya. Padahal instagramable banget! 😀
Dan masih ingat nggak Mba, obrolan kita di mobil sepulang menjenguk anaknya Mba Iyus?
“Kita harus menjadi penulis, Tun. Minimal untuk diri kita sendiri. Menulis itu kan banyak banget manfaatnya”
Lalu setelahnya kita bertekad untuk memenuhi janji kita, menjadi penulis.
Menjelang keberangkatanku ke Palopo, Mba memberikan buku diary sebagai kenang-kenangan. Seakan sebagai pengingat akan janji kita.
Dan yeah, setahun setelahnya, saat aku mulai ngeblog, Mba mengirim chat di bbm, “Barakallah, akhirnya kamu menjadi penulis, Tun. Seenggaknya salah satu dari kita sudah memenuhi janji untuk menjadi penulis”.

Dear, Mba Dini
3 hal itu yang membuatmu cantik sesungguhnya. Aku sering mendengar, bahwa pancaran keimanan dan kebersihan hati seseorang bisa terlihat dari wajahnya. Jangankan berbicara, dengan melihat wajahnya saja, orang sudah bisa merasa damai. Dan itu yang kurasakan saat ada di dekatmu, Mba.
Maka, kuucapkan kepadamu,
Selamat menikmati #UsiaCantik mu,
Tetaplah seperti itu Mba.
Menjadi pribadi yang bahagia, teduh dan murah hati, yang selalu berbuat kebaikan meskipun hal-hal kecil tapi selalu dilakukan dari hati.
Menjadi hamba yang sibuk memperbaiki diri
Menjadi istri dan ibu yang dibanggakan anak-anak dan suami
Menjadi sosok yang selalu dirindukan oleh sahabatmu, hingga detik ini.
Aku mencintaimu, Mba. Karena Allah.