#MondayMarriage: How I Met My Husband

Oktober 16, 201728 Comments
Blog post

Jadi, cerita ini adalah tantangan nulis bertema dari rumah belajar (rumbel) menulis IIP Jakarta. Ide tantangannya dari saya, daaan tema ini juga usulan dari saya. Jadi yeah, mamam deh tuh Nyak 😅

So, How I met my husband?

Enggak ada romantis-romantisnya perasaan. Udah gitu jalannya lempeng weh, tukeran biodata, ta’aruf 3 kali terus lanjut lamaran dan nikah sebulan kemudian. Udah ya ceritanya selesai. Bye!

*terus dilempar bakiak sama bu kapten* 😝😝

Oke lah, ini dia versi agak lengkapnya. Monggo …

___________

“Dek, kamu udah siap nikah? Ini ada ikhwan Jakarta. Suku Jawa, umur sepantaran sama kamu. Anak akuntansi. Kalau mau, segera kirim biodata ke emailku ya”

Sebuah SMS yang saya yakin pada masanya sanggup membuat hati akhwat kebat kebit, panas dingin dan deg-degannya luar biasa. Ah, ya, umur saya menjelang 24 waktu itu.

Siap nikah?

Hmmm, qadarullah, dua bulan sebelumnya, saya selesai membaca buku Saatnya Untuk Menikah karangan Ust. Faudzil Adhim. Dan, sebelumnya pula, saya telfonan sama orang tua dan membahas ini.

Biasalah ya, nggak jauh-jauh dari cerita temen-temen saya. Si A mau nikah bulan depan, si B malah abis lahiran anak kedua, dll. Tidak ada sesuatu yang kebetulan bukan?

Saat itu, saya katakan dengan gamblang bahwa, wes, Bapak sama Ibu doakan saja. InsyaAllah kalau nanti udah waktunya ya bakal datang juga jodohnya.

Baca: Memilih Pasangan Hidup

Email Sent!

Long story short, biodata sebanyak 8 lembar saya kirimkan ke Mba N. Banyak ya? Ahahaha. Lha iyo, komplit bener kok. Dan saat itu entah saya terlalu malu untuk ngirim pasfoto. Akhirnya ngirim foto rame-rame sama anak murid playgroup.

Setelahnya, saya memperlakukan biodata itu serupa lomba blog saat ini. Kirimkan, lalu lupakan. Eaaaa

Seminggu kemudian,

“Dek, cek email. Biodatamu berbalas, alhamdulillah. Silakan dibaca, bawa istikhoroh, dan bicarakan dengan orang tua. Kalau lanjut, minggu depan ta’aruf ya”.

JEDERR!

Dengan perasaan campur aduk, saya ke warnet sama temen kos yang juga kakak sepupu saya, Umi. Buka email dengan cepat, dan bengong liat biodata yang cumaa … 2 lembar?? Lha kok tega ya biodata saya puanjang gitu dibalesnya cuma sak templik gini. Dan potonya omagaa, dipoto pake webcam laptop😪

Biodata itu lalu saya print dan dibawa ke Bojonggede, rumah Bulek yang menjadi orang tua saya di Jakarta. Di sana pula saya menelfon orang tua di Jawa, sekalian rembugan. Inget banget komentar pertama mereka, “Walah, jenenge ngganteng yo, Ibnu Aditya”. HAHAHAHAHA

Our First Met

Matahari mulai turun saat saya dan Umi menyusuri jalan pramuka. Ya, berbekal kemantapan hari dan restu orang tua, sore itu kami akan melaksanakan ta’aruf di rumah Ust.A, murabbi dia.

Kami dipersilakan masuk ke mushola keluarga yang dibatasi oleh rak buku. Jadi semenjak dia datang dan proses ta’aruf berjalan, kami belum melihat satu sama lain.

Ta’aruf cukup efektif, karena masing-masing telah membawa daftar pertanyaan yang akan diajukan satu sama lain. Dari hal pribadi, keluarga, hingga hal-hal prinsip semacam nanti kalau sesudah menikah apa saya tetap boleh bekerja? (Pertanyaan saya). Setelah punya anak apakah saya bersedia resign dan fokus menjadi ibu rumah tangga? (Pertanyaan dia).

Untung ya, pas itu saya nggak ditanyain pertanyaan seputar dapur atau harga pangan. Haqqul yakin saya bakal kibar bendera putih. Muehehehe.

Lanjut di bagian paling mendebarkan: SALING MELIHAT SATU SAMA LAIN!

Ya Allah, saya serupa siput yang malu-malu keluar dari balik lemari. Rasa-rasanya pengen aja itu lemari saya bawa buat nutupin muka. LOL.

*Dan demi apa sekarang nulis ini masih gemeteraaaan, dududu.

Insiden Kecil

Jadiiii, pas kedengeran adzan Ashar, kan Ust. A bilang ta’aufnya dipending dulu untuk sholat. Saya pede banget ngirain udah nggak ada orang. Ngoceh nggak jelas sama Umi yang tentu saja dengan bahasa ngapak kami.

“Huwaaa, kiye temenan ya Um. Nggane nek lanjut ya sedela maning aku mbojo yah. Ora ngekos bareng maning dewek yah. Nylangsane yakin, huhuu”. (Huwaaa, ini beneran ya Um. Ini kalau lanjut ya sebentar lagi aku nikah yah. Nggak ngekos bareng lagi dong kita. Sedihnya, huhuu)

Dan tiba-tiba ada suara dari sebelah dooooong, “Kita ke masjid dulu ya, Mba Rotun”

Pengen pingsan nggak?? Pasrah aja udah kalau misal akhirnya dia nggak lanjut karena ilfil sama saya yang kesan pertamanya kalem diem bersahaja ternyataaaa udah kek petasan betawi berisiknya😆😆.

[ Baca: Istri Sensi vs Suami Cuek ]

Hanya Bertemu 5 Kali, dan Kami Menikah!

how i met my husband

Yass, dia nggak jadi ilfil dan proses kami berlanjut ke tahap berikutnya😄. Diberi waktu seminggu untuk istikhoroh, dan ketika kami berdua memutuskan untuk lanjut, maka pertemuan selanjutnya membahas teknis.

Pertemuan ketiga, yang tadinya hanya diniatkan untuk ta’aruf keluarga akhirnya malah jadi ajang khitbah. Siapa nyana ternyata keluarga suami berasal dari Kebumen juga. Udah deh, rameee, macem ketemu saudara. Tinggal Ust. A yang bengong kena roaming, beliau orang NTB xD.

Btw masih inget dong ya komentar orang tua pas denger namanya dia? Nah, pas liat langsung komennya, “Oh, biasa aja ya ternyata”. HAHAHAHA, yakaliiii ngarep kayak Ibnu Jamil?😂

Ah, ya. Setelah khitbah, barulah kami diperbolehkan untuk berkomunikasi langsung. Sebelumnya selalu dengan alur perantaara: saya-Ust.A-dia, atau dia-Mba N-saya. Panjang ya tek tok-annya, hihi.

Pun setelah boleh, isinya ya cuma fokus ngurus printilan pernikahan. Mau mahar apa, undangan siapa yang nyetak, souvenir siapa yang beli dan lain-lain. Nggak ada sama sekali basa-basi semacam, ‘Udah makan belum?’ atau sesederhana, “Lagi ngapain?”. Nehi! :p

Pertemuan keempat di KUA, mengurus surat dan berkas-berkas pernikahan. Pertemuan kelima, di Madjid Al-Ikhlas Pasar Minggu untuk rapat panitia. Disitu kami bertukar buku untuk saling melengkapi ilmu. Saya menyodorkan Barakallahu Laka: Bahagianya Merayakan Cinta karangan Salim A Fillah, dia menyodorkan Kado Pernikahan Untuk Istriku, karangan Ust. Faudzil Adhim.

Di sela-sela kerempongan menyiapkan pernikahan, kami berdua sepakat untuk membuat proposal kedua, semacam grand design bagaimana keluarga kami nantinya akan dibangun. Cita-cita, mimpi, juga harapan kami tentang keluarga maupun satu sama lain.

Maka akhirnya, di Ahad pagi itu, 7 tahun lalu, akhirnya saya resmi dipersuntingnya. Laki-laki asing yang pendiam dan sederhana, yang saat tangannya menggenggam tangan Bapak, membuat saya menangis. Ah, tapi memangnya ada perempuan yang tak menangis di hari pernikahannya?

Ia, laki-laki berkacamata yang saat saya mencium tangannya selepas akad, membuat saya merasakan desiran halus di dada. Hei, bahkan saya tak menyangka, akan jatuh cinta secepat itu kepadanya.

Dan Ia, yang baru bertemu 5 kali dengan saya, berhasil meyakinkan bahwa perjalanan ini memang tidak akan mudah, tapi selama kita selalu bersamaNya, maka insyaAllah kita juga mampu melaluinya.

Ya, karena pernikahan bukan hanya untuk mencari bahagia, tapi untuk menemukan surga di ujungnya, bersama-sama.

Tons of love,

Nyak Rotun

_____________

Palopo, suatu sore yang gerimis. Nulis begini pas lagi ditinggal dinas seminggu. Rindu kamu, darling!❤❤❤

Prev Post Next Post