#MondayMarriage: Memilih Pasangan Hidup

Februari 13, 201736 Comments
Blog post

Memilih pasangan hidup itu perlu, wajib malah. Wong beli cabe aja milih-milih kok, masa nyari suami yang buat teman seumur hidup nggak boleh milih-milih?

Saya membaca jawaban dari seorang lajang, saat ada yang nyinyirin dia yang belum menikah.

Yang paling sering terjadi, biasanya para lajang ini dijudge kalau mereka terlalu pemilih. Hingga keluarlah jawaban seperti di atas. Kalian setuju nggak?

Kalau saya sih yes.

Meski kemudian cara memilihnya bisa sangat subyektif karena selera orang masing-masing kan berbeda ya.

Misal ada yang menetapkan kriteria mendetail, harus ganteng mirip Song Joong Ki, mapan dengan kriteria punya gaji sekian, atau memiliki hobi yang sama biar asik.

Ada juga yang kriterianya cukup simpel. Yang penting sholeh, misalnya. Pun lagi-lagi sholeh ini juga sangat luaas cakupannya. Apa hanya cukup rajin sholat, atau harus seorang hafidz yang hafal 30 juz, misalnya.

See? Kriteria ini bisa sangat amat kompleks kok jatohnya.

Saya termasuk yang menetapkan kriteria sederhana dalam hal memilih pasangan. Pernah merasa minder karena merasa saya ini hanya wanita yang sangat biasa.

Wajah biasa, pendidikan standar, ekonomi bawah, jadi sempet mikir ada yang mau nikah sama saya aja udah syukur deh. Hahaha, desperado amat gue dulu yak xD.

Baca: Rotun si Anak Dusun

Eh eh by the waaay, sebelum saya lanjutin cerita tentang kriteria memilih pasangan, saya mau woro-woro kalau mulai Senin ini, di rubrik #MondayMarriage saya colab sama ‘adek blogger ketemu gede’ nun jauh dari Aceh sana.

Sri Luhur Syastari aka Ayi. Blogger di balik cutdekayi.com. Sebenernya rencana mah udah lamaaa, tapi karena Ayi kemarin abis lahiran jadi baru mulai sekarang deh.

Jadi baca juga blogpost Ayi:

TENTANG MEMILIH PASANGAN HIDUP

Okeeeh, lanjut.

Jadi saya yang tadinya pasrah bahwa jodoh di tangan Tuhan, kemudian tahu dan sadar bahwa jodoh bisa juga diupayakan. Iya, istilahnya menjemput jodoh.

Caranya? Meminta kepada sang pemilik jodoh. Gitu kan? Meminta agar kita diberikan jodoh yang terbaik, dengan cara yang baik, dan di waktu yang paling baik. Semuanya baik menurut Allah tentu saja.

Maka kemudian saya mulai membaca buku tentang pernikahan, untuk mulai belajar bagaimana proses sebelum dan sesudahnya serta segala pernak-pernik di dalam pernikahan.

Sebelumnya saya bahkan saya melahap banyak bacaan tentang pendidikan anak, hahaha. Etapi karena memang saya bekerja di bidang itu, menjadi guru TK.

Jadi ini dia beberapa kriteria saya dalam memilih pasangan hidup.

1. Sholeh atau paham agama.

Yang kemudian syarat spesifiknya adalah dia harus ngaji atau ikut taklim. Ya, saya yang memang sudah ikut taklim semenjak SMA, meletakkan syarat ini paling pertama.

Kenapa? Agar saya dan suami saya nanti satu koridor, satu faham dan satu visi dalam membangun keluarga. Jika kami sama-sama tarbiyah, maka penyesuaian akan lebih mudah, karena selama ini kami sudah ada di track yang sama. Gitu lah gampangnya.

Dan seseorang yang ikut taklim, menurut saya adalah orang yang punya komitmen untuk terus belajar mengenal agamanya, belajar taat pada Allah dan RasulNya. Dijamin pasti sholeh? Ya nggak juga.

Tapi setidaknya saat kami bergabung di sebuah jamaah taklim, kami akan terus berproses bersama menuju ke sana, dan akan ada orang-orang yang selalu mengingatkan di jalan kebaikan.

Lalu gimana caranya saya mencari calon suami seperti itu? Well, lewat perantara. Pernah mendengar atau malah familiar sama model pernikahan yang dijodohkan lewat ta’aruf? Iya, saya gitu juga proses nikahnya, hehehe.

Pun saya udah sounding jauh-jauh hari ke orang tua, kalau saya itu nanti nikahnya dicariin sama guru ngaji saya. Murabbi, kami menyebutnya. Dan orang tua memang kenal baik sama beliau.

Jadi orang tua sama sekali nggak kaget pas suatu kali saya nelfon, “Pak, Bu, ada yang mau melamar saya”

Jawaban mereka, “Oh, Bu Anu udah nemu calon buat kamu, Nduk? Alhamdulillah”

Hahahaha. As simple as that.

Proses bagaimana saya akhirnya menikah nanti saya ceritain di another blogpost aja deh. Kepanjangan nanti kalau dijembrengin di sini.

Baca: How I Met My Husband

2. Sekufu

Sekufu itu maksudnya sederajat. Baik dalam kedudukan, agama, nasab, harta maupun pendidikan.

Artinya saya juga berkaca. Kualitas saya seperti apa, jadi nggak mungkin juga saya menetapkan kriteria terlalu tinggi untuk calon suami saya.

Sebenarnya sekufu ini juga menjadi salah satu pegangan murabbi dalam mencarikan jodoh bagi para binaannya. Sesuatu yang terlalu jauh, tentu akan sulit nyambungnya.

Pendidikan laki-laki S2 lalu perempuan SMA? Tentu akan sulit menyamakan ritme dan komunikasi dalam berumah tangga nanti. Atau misalnya saya dijodohkan dengan putra betawi yang tanahnya ngambrak di mana-mana, kontrakan puluhan pintu sementara saya hanya gadis desa yang sawahpun tak punya. Halah.

Ada kisah nyata di mana sang istri dari keluarga berada dan suami dari keluarga biasa saja. Saat ada konflik, kata-kata ‘wajib’ yang muncul dari suami adalah, “Iya, aku emang laki-laki miskin, nggak kaya kamu yang anak orang kaya. Marahin aja terus, salahin aja terus”. So sad 🙁

Ya, karena kisah pernikahan nggak semanis yang di FTV-FTV itu, gengs :D.

Baca: Istri Sensi vs Suami Cuek

Mempunyai pasangan sekufu juga memudahkan kita untuk bergaul dengan keluarganya. Tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok hingga nambah-nambahin masalah dalam pernikahan. Bukan, bukan berarti bebas masalah. Tapi sangat bisa meminimalisir.

3. Memiliki kemampuan memberi nafkah

Nggak harus punya gaji sekian, apalagi punya kendaraan atau … rumah. Tapi gimana calon suami saya memang dinilai mampu memberi nafkah untuk istri dan anaknya saat kami sudah menikah nanti.

Karena memberi nafkah merupakan kewajiban bagi suami. Jadi seperti yang pernah saya baca, mencari calon suami nggak harus yang mapan, tapi lihatlah apa dia punya potensi untuk mapan.

Dan dalam perjalanannya mapan ini juga banyak faktor kan ya, termasuk yang paling penting adalah dukungan dan doa dari sang istri. Ehm.

Kalau murabbi saya bilangnya mah nggak harus bekerja tetap, tapi bagaimana Ia tetap bekerja. Nggak harus punya penghasilan tetap, tapi bagaimana Ia tetap berpenghasilan. Gitu :D.

4. Kriteria lain: Nggak ngerokok, suku Jawa

Saya kenyang banget sama rokok. Bapak itu perokok berat, yang rokoknya nglinting sendiri itu lho, pake kertas rokok, kasih irisan tembakau kering dan kawan-kawannya terus dilinting sendiri. Baunya aduhai, nyengat banget dan bikin gatel tenggorokan.

Kakak saya juga perokok akut, yang borooossss banget karena ngerokoknya udah kaya sepur kalau Ibu saya bilang. Enggak ada berhentinya, ngebul terus 🙁

Jadi saya mau banget suami saya nanti bukan perokok. Tapi kalau syarat pertama terpenuhi, insyaAllah dia pasti bukan perokok sih :).

Kalau suku Jawa, enggg…request orang tua. Kebanyakan gitu kayaknya ya. Pengen yang sesuku. Padahal saya pernah lho pengen dapet jodoh orang Betawi.

Alasannya? Lama tinggal di lingkungan Betawi yang biasanya anaknya banyak terus kalau udah pada nikah tinggalnya segerombolan gitu jadi rameee.

Mungkin karena saya dibesarkan di kampung yang kebanyakan anaknya mencar kemana-mana, jadi perantau. Jadi lihat keluarga Betawi yang ngumpul seru gitu jadi pengen, hehehe.

Mmm, apalagi ya, kayaknya kriteria utamanya itu sih. Jujur untuk fisik nggak saya masukin ke kriteria. Sadar dirilah, hihi.

*****

Dan Desember nanti insya Allah akan memasuki tahun ke tujuh bareng dia. Suami yang kriterianya saya minta di doa-doa malam saya.

Karena satu hal lagi yang saya ingat, bahwa jodoh itu tidak akan tertukar. Namun, kita juga bisa berdoa dan berusaha untuk mendapatkan jodoh idaman kita. Bukan siapa dia, tapi bagaimana dia.

Dan usaha yang saya lakukan dulu adalah terus memantaskan diri. Karena saya percaya janji Allah, bahwa laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Dan berlaku sebaliknya.

Kalau kalian, punya kriteria memilih pasangan hidup yang seperti apa? Atau bagi kalian yang sudah menikah, kriteria apa yang akhirnya memantapkan hati untuk menerima pinangan darinya?

Share yuuuk^^

______

Palopo, di Senin pagi yang gerimis.

Prev Post Next Post