Saat Sakit di Perantauan

Sakit itu nggak enak. Apalagi, saat sakit di perantauan, jauh dari orang tua dan keluarga. Ada yang pernah ngalamin?
Kalau ditanya siapa yang mau sakit, bisa dipastikan jawabannya nggak ada ya. Iyalah, siapa sih orang yang mau sakit. Setiap orang mengharapkan Ia dan keluarganya selalu sehat dan bahagia. Banyak cara juga ditempuh agar bisa hidup sehat. Makan makanan bergizi, istirahat cukup serta olahraga teratur.
Namun adakalanya diluar kemauan kita, terlepas dari segala ikhtiar yang sudah dilakukan, bisa saja kita tertimpa sakit. Itu merupakan takdir. Ya, tinggal gimana kita menjalani sakit.
Inti dari setiap ujian itu katanya adalah hasil akhirnya. Apakah dengan ujian itu kita makin bersabar, atau memenuhi hati dengan keluh dan kesah. Bisa jadi dengan sakit kita bisa banyak merenung, atau seperti yang biasa dikatakan orang-orang: agar kita bisa beristirahat.
Saya sendiri, sampai saat ini sudah pernah opname di rumah sakit sebanyak dua kali. Di luar melahirkan lho ya. Kalau Bapak-Ibu, suami dan anak-anak malah belum pernah sama sekali. Mudah-mudahan terus sehat. Amin.
Dua Kali Sakit di Perantauan
Opname Pertama
Masuk RS pertama saat kelas 3 SMA. Inget banget pas itu lagi ujian akhir semester. Entah karena kecapekan dan terlalu ngoyo belajar, saya yang tadinya dikira masuk angin biasa ternyata harus dilarikan ke RS karena pingsan di kosan. Saya positif tipes dan harus di rawat. Yang nungguin siapa? Temen kos lah, hahaha. Mereka gantian menjaga saya dikala malam. Kalau pagi mereka sekolah, saya di jaga sama Mba Sri, pembantunya ibu kos.
Kasihaaaann.
Orangtua saya belum tau. Saat itu belum ada telpon atau HP. Ya ada sih di ibu kos, tapi bapak ibu kan di nggak punya. Jadinya mereka tau pas saya udah di RS tiga hari. Temen kos saya yang sekampung pulang, dan mengabarkan ke Ibu kalau saya sakit. Besoknya mereka dateng ke RS sambil nangis-nangis :’). Alhamdulillah di hari ke 8 saya sudah diijinkan pulang. Ujian semesternya ikut susulan deh.
Opname Kedua
Masuk RS yang kedua, lagi-lagi jauh dari orangtua. Bahkan sampai sekarang Bapak Ibu nggak tau, hihi. Sengaja saya nggak cerita ke mereka. Nggak mau mereka khawatir dan kepikiran. Lha wong di Palopo saya nggak ada saudara sama sekali, cuma suami dan anak-anak.
Kejadiannya pertengahan bulan April kemarin. Awalnya sakit biasa, karena telat makan dan kecapekan. Suami pun masih tetep berangkat kerja. Saya di rumah bersama dua balita. Bisa ditebak lah ya, suseeeh istirahat. Baru merem bentar si Wafa manggil, merem lagi si Ayyas minta susu. Gitu aja terus.
Sampe di hari ketiga, saya muntah-muntah hebat. Bolak balik kamar mandi. Lemes luar biasa, sampai nggak kuat bangun. Sampai akhirnya saya tidur, ternyata bangun-bangun saya udah di RS :’).
Sempet kekeuh minta ke dokter agar jangan opname. Mikir nanti anak-anak gimana, siapa yang jaga. Tapi dokternya pun kekeuh nggak ngebolehin saya pulang.
“Kalau di rumah, Ibu nggak mungkin bisa istirahat”, kata beliau.
Akhirnya kami manut. Suami rundingan sama tetangga yang nawarin mau jaga anak-anak selama saya dirawat. Tadinya udah lega, tapi ternyata anak-anaknya nggak ada yang mau :(. Singkatnya, akhirnya kami memilih kamar VIP dengan pertimbangan agar anak-anak bisa tetap bersama saya dan nggak mengganggu pasien lain.
Maka malam itu menginaplah kami sekeluarga di hotel, eh rumah sakit :p

Alhamdulillah anak-anak nggak rewel. Suami memboyong mainan ke RS agar anak-anak nggak bosan. Tapi yaa namanya anak-anak. Di hari ketiga mereka mulai merengek minta pulang. Syukurlah dokter mengijinkan saya rawat jalan dengan wejangan dan pesan agar saya rajin kontrol.

Dari dua pengalaman di atas, satu yang saya simpulkan: sakit itu nggak enak. Yeee, semua juga tau. Nggak enak di badan, nggak enak juga di kantong. Di kantong? Yes, it’s about money. Makanya banyak yang bilang sehat itu mahal, tapi suka pada nggak nyadar. Nyadarnya pas jatuh sakit, dan harus mengeluarkan banyak uang demi bisa sehat kembali.
Saat sakit jaman SMA dulu, saya inget banget orangtua sampai harus berhutang untuk membayar biaya rumah sakit. Ya, saat itu orangtua yang hanya buruh tani. Boro- boro mikirin budget untuk kesehatan, bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak aja udah syukur alhamdulillah.
Tapi kayaknya sampai sekarang deh, masyarakat di desa saya belum banyak yang sadar untuk memiliki anggaran khusus untuk kesehatan. Padahal itu sangat penting ya. Baru-baru ini Ibu cerita, tetangga sebelah rumah mengeluarkan biaya 35 juta untuk biaya operasi anaknya yang menderita kelainan pada organ pencernaannya.
Meskipun pada akhirnya bayi berusia 5 hari itu meninggal. Dana yang susah payah di kumpulkan oleh si Ibu dengan menjadi TKW di Malaysia selama bertahun-tahun, yang niatnya untuk membangun rumah, habis dalam sekejap.
Saya tahu bahwa sesuatu yang sudah terjadi tidak boleh di sesali. Tapi, kita bisa memetik pelajaran dari sana. Kejadian itu menyadarkan kita bahwa dana kesehatan itu sangat penting. Sekali lagi walaupun kita sudah berusaha untuk hidup sehat, but who knows? Iya kan?
Dana khusus untuk kesehatan bisa dalam bentuk dana darurat yang hanya diambil saat kejadian tak terduga, ataupun bisa berupa asuransi kesehatan. Untuk saat ini sih masyarakat udah terbantu banget ya dengan program BPJS dari pemerintah.
Bahkan untuk masyarakat miskin, ada kartu KIS yang nggak perlu iuran setiap bulannya. Untuk pasien dengan penyakit yang membutuhkan pengobatan rutin, BPJS ini membantuu banget.
Meski dalam kenyataannya kita harus ada effort lebih untuk antri lebih lama atau harus ke faskes I dulu, tapi saya bisa bilang BPJS ini worthed banget.
Kalau kalian, dana kesehatannya dalam bentuk apa?
Salam,
Nyak Rotun