Story of My Life: Rotun si Anak Dusun

Maret 17, 201687 Comments

 

Story of My Life: Rotun si Anak Dusun.

Bismillah.

Perlu waktu lama untuk memutuskan ikut atau nggak nya giveaway dari Mba Ika Puspita ini. Sebagai ratu ngontes, awal Mba Ika mengumumkan bahwa Ia mengadakan giveaway, saya langsung semangat. Apalagi pas melihat hadiahnya yang unyu-unyu. “Aku ikut Mbaaa…”, komen saya di beranda facebooknya.

Mba Ika yang saya kenal hanya di dunia maya adalah sosok yang rendah hati tapi penuh prestasi. Blognya bagus dan informatif, selain nulis di blog, Mba Ika juga sudah menerbitkan 3 buku. Apa lebih ya? Semoga lebih dan akan terus nambah ya Mba :). Kamu keren Mba, apalagi pas tau ternyata kota kelahiran kita masih tetanggaan. Aku jadi termotivasi.

Kalau orang Purworejo bisa sukses, cah Kebumen juga insya Allah bisa :D. By the way, begitu melihat tema giveaway saya mulai ragu.

SEJARAH HIDUP.

Melemparkan saya ke puluhan tahun silam, dengan sejarah hidup yang penuh dengan kisah. Tidak melulu tentang kesedihan memang, tapi sebagian besar hidup saya di belakang sana, penuh dengan perjuangan dan air mata, yang berakhir dengan keberhasilan, maupun kegagalan.

Menceritakan tentang sejarah hidup memaksa saya membuka lembaran yang orang lain belum ketahui. Tentang masa kecil yang kesepian, tentang anak yang merindukan kasih sayang ibunya, tentang anak yang -lagi dan lagi- harus mengubur dalam-dalam semua cita-citanya, tentang saya yang hanya lulusan SMA.

Tapi saya pikir tak apa, toh saya amat bersyukur bisa berada di kondisi saat ini. Saya punya keluarga, suami dan anak-anak yang saya cintai. Saya punya sahabat dan teman yang banyak, dan baik-baik. Saya bisa menjadi penulis seperti yang jauh hari saya cita-citakan, meski baru sebatas di blog pribadi.

Cerita ini mudah-mudahan bisa menjadi pengingat, khususnya bagi saya pribadi agar tak lupa bersyukur atas segala nikmat dan pencapaian, sekecil apapun itu.

Selamat datang di cerita penuh warna. Cerita seorang Rotun.

Simbok Kapan Pulang, Pak?

Hampir setiap hari, pertanyaan itu muncul dari adik kecil saya, Nafi. Bocah berumur 3 tahun itu selalu mencari Simbok, Ibu kami yang saat itu pergi merantau demi mencari kehidupan yang lebih layak untuk kami. Simbok pergi mencari uang bukan lagi ke luar kota atau pulau, tapi luar negeri. Negeri yang saat itu bagi otak mungil saya dan Nafi sama sekali tidak terbayang: Arab Saudi.

Kami hanya tahu, katanya Arab itu jauh, kalau kesana harus naik pesawat. Jadi Simbok tentu tidak akan pulang menjelang sore hari, seperti jika Simbok buruh tandur di sawah. Apakah Simbok meminta pendapat kami? Tidak.

Saya hanya ingat malam itu Simbok menciumi kami bertubi tubi, dengan isak yang tertahan. Saya yang saat itu berumur 9 tahun sudah mengerti, bahwa Simbok akan meninggalkan kami. Tapi tidak dengan Nafi. Ia malah meronta ketika pulas tidurnya terganggu dengan pelukan dan ciuman dari Simbok.

Deru mobil Lek Darmi, sponsor TKW yang akan membawa Simbok ke Jakarta untuk belajar di yayasan TKI terdengar mulai meninggalkan rumah. Tetangga pun meninggalkan rumah saya satu per satu, setelah mengantarkan kepergian Simbok. Saya meringkuk di pojok dipan, menangis sesenggukan.

Ooh..anak mana yang senang berpisah dan ditinggalkan oleh Ibunya? Dalam hati saya menghitung hitung, jika benar Simbok pergi selama dua tahun, maka jika dalam setahun -seperti kata Pak Guru- ada 365 hari, maka saya akan bertemu Simbok 730 hari lagi. T u j u h  r a t u s  t i g a  p u  l u h. Itu waktu yang lama. Lamaaaaaaaa sekali, pikir saya. Dan setiap mengingat itu, saya kembali menangis.

Tapi toh sebagai anak-anak, terkadang saya pelupa. Jika sedang asyik bermain kasti, atau memancing ikan di blumbangan depan rumah saya bisa sejenak lupa tentang Simbok. Meski begitu pulang ke rumah, luka saya kembali menganga.

Tidak ada masakan simbok yang enak-enak, tidak ada lanting di toples yang tadinya selalu Simbok sediakan untuk saya dan Nafi. Tapi seperti kata pepatah, waktu adalah penyembuh yang terbaik. Maka hari-hari selanjutnya kami toh menjadi terbiasa menjalani hidup tanpa Simbok.

story of my life
Kakak saya dan istrinya, Simbok, Bapak, Saya, Nafi.

Aku Sekolahnya Gimana, Pak?

Saya bertanya sembari membuntuti Bapak yang tengah sibuk melipat dan mengikat karung ke sepeda yang akan dibawa ke sawah untuk wadah padi hasil panen. “Bolos dulu, Bapak ngurusi panen, buat makan kamu dan Nafi”, jawab Bapak singkat. “Wis yo, itu Bapak udah masakin jamur kesukaan Nafi. Jangan lupa adeknya disuapin, rumahnya diberesin”, titah Bapak.

Entah saya yang cengeng atau memang sudah seharusnya begitu, saya kembali menangis. Saya begitu mencintai sekolah. Menggilai belajar. Dan Bapak bukannya abai dengan itu. Toh Bapak juga tau jika setiap pengambilan rapor, selalu angka 1 atau 2 yang tertera di samping kata ranking.

Tapi mau bagaimana? Ada sawah yang harus di panen sementara ada Nafi yang harus dijaga. Saya tidak ingat berapa sering saya bolos sekolah. Yang saya ingat, suatu siang di jam pulang sekolah, ramai teman-teman sekelas menyambangi rumah saya.

“Jare Pak Guru ngesuk kowe mangkat sekolah bae, Nafi ulih dijak. Mengko bisa dolanan bareng-bareng” (kata Pak Guru besok kamu berangkat sekolah aja, Nafi boleh diajak. Nanti kan bisa main bareng kita).

Saya terlonjak girang. Buru-buru membongkar lemari, mencari seragam sekolah kelas satu dulu. Ketemu! Saya pakaikan ke Nafi, pas sekali di badannya. “Sesuk nderek Yayu sekolah yo Dek, tapi ora pareng nakal”. ( Besok ikut kakak sekolah ya Dek, tapi nggak boleh nakal). Nafi mengangguk dan tertawa kegirangan memakai seragam sekolah sama seperti kakaknya.

Ah, Nafi. Sampai sekarang ia selalu berujar bahwa masa kecilnya tidak pernah merasakan kasih sayang simbok. Sayalah ‘Ibu’ baginya. Memandikan, menyuapi, momong, belajar dan bermain bersamanya.

Pernah ada kejadian lucu saat di sekolah. Maklumlah, saya juga anak-anak yang suka lupa segalanya saat bermain. Bel sekolah berbunyi, tapi Nafi tidak ada di samping saya. Bahkan di halaman sekolahpun. Panik, saya dibantu teman-teman mencarinya.

Ternyata Nafi sedang menangis di depan toko kelontong dekat sekolah, pengen beli jajan. Oalaaah, saya yang memang tidak pernah dikasih sangu, bingung mendiamkan. Sampai akhirnya Pak Guru menghampiri kami dan memberi uang lima puluh rupiah untuk membeli jajan. “Maturnuwun nggih, Pak”, ujar kami kegirangan :D.

Nafi dan suaminya :)
Nafi dan suaminya yang merupakan seorang hafidz Quran 🙂

10 Kilometer

Adalah jarak yang saya tempuh untuk sekolah ke SMP N 1 Petanahan. Meski mayoritas bahkan hampir semua lulusan SD di desa saya melanjutkan sekolah ke Madrasah Tsanawiah, tapi saya lebih memilih SMP umum saja. Entahlah, saya saat itu sama sekali tidak tertarik dengan MTs. Nggak keren menurut saya, banyak yang nyamain, hahaha.

Dari teman sekelas, hanya 2 orang, saya dan Neni yang melanjutkan ke SMP. Lainnya? Bedol desa ke MTs :D. Tidak banyak yang ingin saya ceritakan tentang episode SMP, selain beratnya perjuangan mengayuh sepeda setiap hari melewati persawahan. Apalagi jika hari Jumat dan waktunya ekskul Pramuka. Beuuh, serba salah saya.

Mau nunggu di sekolah dari jam 11 sampai jam 2 siang nggak ada temennya, tapi kalau mau pulang males berangkat lagi. Saya harus melawan angin yang sedang kencang-kencangnya jam 2 siang itu. Setengah mati mengayuh pedal sepeda agar tetap melaju. Tapi toh 3 tahun berhasil saya lalui, dengan pencapaian berupa betis yang mrengkel mirip tukang becak, dan kulit yang menghitam karena terbakar matahari XD.

Screenshot_2016-03-17-05-41-39-1
Jalan yang setiap hari saya lalui untuk bisa sampai ke sekolah.

Jalannya jelek banget. Iya emang. Hahaha. Ini masih mending pas musim kemarau. Kalau musim hujan, jalanan ini akan tergenang dan membuat perjuangan naik sepeda tambah berat. Suatu kali saya pernah tercebur ke sawah, saking derasnya aliran air dari kanan jalan ke kiri jalan. Saya tercebur, berikut sepedanya. Saya berhasil menyelamatkan diri, tapi sepeda saya tenggelam. Untunglah ada orang yang menolong saya. Mutung, saya kembali ke rumah dan gagal ke sekolah.

Oiya, saking jeleknya jalan ke desa saya, sampai punya nama julukan yaitu Kuala Berlumpur XD. Tapi kata Simbok sekarang jalannya udah bagus, udah di cor. Alhamdulillah 🙂

Panggilan Nyak dan Masa SMA yang Penuh Warna

Di desa saya, hanya segelintir anak yang beruntung bisa melanjutkan sekolah ke tingkat atas. Sebagian besar tidak mampu, tapi yang jelas satu: tidak adanya kemauan. Lalu mau apa selulus MTs/SMP? Ada yang menikah, tapi paling banyak berangkat kerja ke Ibukota atau Bandung.

Kerja apa? Asisten rumah tangga tentu saja, atau jika beruntung ada saudara yang membawa, bisa kerja menjadi buruh pabrik atau pegawai salon. Yang laki-laki mulai terjun ke sawah, membantu bercocok tanam atau membuat batu bata.

Lalu bagaimana dengan saya? Hampir bernasib serupa, jika saja Allah tidak memainkan rencanaNya yang begitu indah. Menjelang kelulusan SMP, saya dipanggil oleh Pak Mujiono, guru BP sekolah.

Apa hal? Saya mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke SMA! Allahu Akbar, Alhamdulillah, saat itu rasanya seperti melayang. Saya mencium tangan Pak Muji berkali-kali sambil merapalkan terimakasih. Singkatnya, saya masuk ke SMA 2 Kebumen dan kos karena jarak yang tidak memungkinkan untuk ditempuh dengan laju.

Awal SMA, saya sempat merasa rendah diri. Bagaimana tidak? Anak ndeso mlebu kutho. Ngliat temen cakep-cakep, sepatu dan tasnya bagus-bagus, sekolahnya naik motor atau diantar mobil. Saya? ah, sudahlah, off the record :p.

Tapi begitu semester pertama saya berhasil meraih ranking 1, saya mulai merasa PD dan teman-teman mulai ngeh ada saya di kelas. Eh, ggak separah itu sih. Saya cukup femes kok. Femes karena ndeso maksudnya, bahaha.

Daan, di kelas 1 inilah saya mendapat panggilan ‘NYAK’. Kenapakah? apa tampang saya mirip enyak-enyak? Nggak tauu..dan nggak inget awal saya dipanggil nyak. Cuma pas itu emang lagi ngehits sinetron Tarzan Betawi dengan pemeran utamanya Mandra yang soundtracknya “Nyaaaak…aye nggak tahan. Enyak kelewatan, aye ditinggal di utan..dst..dst”.

Tapi entah apa hubungannya kok saya jadi dipanggil nyak. Sepertinya saya harus meneliti dan mengkaji dengan mendalam. LOL. Panggilan ini menyebar seantero sekolah. Bahkan sampai gurupun memanggil saya nyak. Yasudahlah, saya nyaman aja sih. Apalagi sekarang, udah jadi nyak beneran kan? :). Malah Nyak Rotun akhirnya saya abadikan sebagai nama blog saya.

Masa SMA masa yang paling indah? Iya banget. Saya nggak nemu pacar sih, bahkan nggak pernah pacaran selama sekolah. Tapi saya menemukan teman dan sahabat-sahabat yang tulus. Saya merasa dihargai sebagai diri saya apa adanya, bukan ada apanya.

Dan hei, tentu saja seperti kebanyakan anak SMA, di kelas 2 saya mempunyai geng yang femes seantero sekolah *PD abes* namanya 12fun (baca: twelve fun). Heeeeh..itu geng apa rombongan qasidah? banyak beneeer XD. Iya emang banyak, tapi kita tetap kompak, bahkan sampai sekarang. Tiap tahun kita menyempatkan ngumpul, bukber pas ramadhan saat kami yang sudah menyebar ke berbagai kota, mudik ke kampung halaman tercinta.

story of my life
12fun dan teman-teman yang lain di salah satu momen bukber. Formasi nggak lengkap tapinya. Miss you, geng 🙂

Berjuang di Ibukota

Selulus SMA, saya sungguh tak punya niatan muluk-muluk bisa kuliah. Cukup kerja, cari uang yang banyak biar bisa ngasih ke orangtua. Seneng banget mbayangin bisa ngasih uang ke orangtua saya yang sudah cukup bersabar dan berbesar hati anaknya sekolah sampai SMA, hal yang sangat jarang terjadi di kampung. Tapi toh saya tetap berusaha mencari kuliah gratisan.

Dan sayapun mengikuti tes masuk STAN ( Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Qadarullah nggak lulus, mungkin karena orangtua sebenarnya memang nggak ridho, hehehe. Akhirnya saya bekerja apa saja. Pernah mejadi penjaga toko di Jogja, dan akhirnya seperti kebanyakan manusia Indonesia, merantau ke Ibukota.

Singkatnya saya menjadi guru TK dengan modal kenal dengan kepala sekolahnya hingga beliau berbaik hati membolehkan saya menjadi guru bantu sementara siangnya saya disuruh kuliah PGTK. Cukup lama saya mengajar, dari tahun 2006 sampai takdir mempertemukan saya dengan pacar pertama jodoh dunia akhirat di tahun 2009 🙂

To be continued…

______

*Simbok pulang dari Arab saat saya kelas 6 SD, tapi setelah itu merantau ke Jakarta, Bandung, Tangerang, dll. Simbok baru bener-bener stay di rumah setelah saya SMA.

**Yang ingin tau bagaimana saya bisa terdampar di Palopo, bisa baca ceritanya di sini.

InsyaAllah kisah-kisah lain akan saya tulis di blog ini. Stay tune ya^^

Salam,

-Rotun DF-

Prev Post Next Post